Selasa, 04 November 2008


INTERPRETSI PERINTAH JABATAN (AMBTLIJK BEVEL)
DALAM HUKUM PIDANA
Oleh: Bahtiar Rifai, SH (Direktur LKBH PERMAHI BANTEN & Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Kota Cilegon)

PENDAHULUAN
Maraknya kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di negara kita terutama di Banten sungguh sangat memprihatinkan, sebagai anak bangsa sangat miris medengar fenomena tersebut. Di tambah supremasi hukum di negeri ini masih berjalan tidak optimal karena banyak penegak hukum yang masih dapat di beli.
Betapa moral para pejabat di Negeri ini sudah mengalami degradasi pada titik minus karena sudah tidak ada lagi rasa malu untuk merampok uang rakyat dan memeperjual belikan hukum. Untuk menggambarkan keadaan tersebut para ktifis pergerakan sering beranekdot bahwa “pejabat pada era ordelama melakukan aktivitas korupsinya dibawah meja. Sedangkan pada saat ini orde reformasi justru korusi semakin meraja lela dan tidak lagi dabawah meja aktifitasnya tetapi sudah di atas meja”.
Akibat maraknya korupsi yang terjadi di Negara kita banyak pejabat yang ditangkap untuk di adili. Sebut saja beberapa kasus korupsi di Banten seperti Dana Perumahan yang melibatkan para anggota DPRD dan Gubernur Banten Priode 1999-2004 dengan kerugian Negara sebesar + Rp 14 Milyar, beberapa pejabat Depag Banten yang tersandung kasus pengadaan buku, Kasus proyek pembebasan lahan interchange yang merugikan keuangan Negara Rp 4,5 Milyar akibat markup, Kasus Markup Pembebasan lahan gedung Mapolda Banten,
Kasus korupsi pengadaan tanah kubangsasi yang menyeret beberapa pejabat di Kota Cilegon dengan kerugian keuangan Negara sebesar + Rp 6,5 Milyar, kasus pembelian kapal tunda (tug boat) oleh Pemkot Cilegon, kasus JLS di Kabupaten Tangerang yang merugikan keuangan Negara sebesara Rp 95 Milyar, kasus Badan Pertanahan Nasional Tangerang yang merugikan Negara sebesar Rp 1 Milyar, dan masih banyak lagi kasus korupsi lain yang berlum di ungkap oleh kejaksaan dan kopolisian Banten. Dimana korupsi yang terjadi sebenarnya lebih parah dari apa yang kita lihal sekarang ini.
Perbuatan pidana tidak selalu berakhir dengan pemidanaan apabila tidak memenui beberapa unsur di antaranya adalah tidak adanya alasan pemaaf dan pembenar. Alasan Pemaaf dalam arti bahwa perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa tetap dikategorikan sebagai perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana karena tidak ada kesalahan (sechuld) (Moeljatno,Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta ,Rineka Cipta,2002,hal 137). Jadi apabila terjadi delik (perbutan pidana) jika tidak mengandung unsur kesalahan, maka tidak dapat dipidana. Seperti di antaranya yang tertuang dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Tidak dapat di pidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena serangan ataupun ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum”. Sedangkan alasan pembenar yaitu “Alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar”. Seperti di antaranya yang tercantum dalam Pasal 50 KUHP yang berbunyi “Barangsiapa melakukan perbuatan untukmelaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”.
Penegakan hukum dalam kasus tindak pidana korupsi tidak senantiasa berjalan mulus dalam pelaksanaannya. Seringkali para koruptor lepas dari jeratan hukum karena beberapa faktor. Di antaranya adalah karena alasan perintah jabatan (ambtlijk bevel) dan birokrasi/administrasi. Hal tersebut terjadi karena potensi atau celah untuk mengaburkan delik pidana sangat besar, apalagi jika sudah menyangkut birokrasi/administrasi dalam pemerintahan. Sehingga apabila terdapat kesalahan dalam pelaksanannya (di sengaja atau tidak) yang berimplikasi pada ruginya keuangan Negara (korupsi) maka seringkali lepas dari jeratan hukum dengan alasan perintah jabatan. Seperti kasus bulog gade yang melibatkan mantan ketua DPRR-RI Priode 1999-2004, Kasus korupsi tanah kubangsari yang melibatkan salah satu pejabat Kota Cilegon dan kasus korupsi yang lain, yang di vonis bebas oleh hakim yang menanganinya bahkan sampai bebas murni di ataranya.

HAKIM MEMUTUS HANYA BERASUMSI
Fenomena tersebut diperkuat terjadi karena penegak hukum yang dapat di bayar. Banyak putusan hakim pengadilan negeri di Indonesia yang memvonis terdakwa hanya sebatas memakai asumsi tanpa di barengi dengan dalil hukum yang berlaku, sehingga tidak ada acuan yang kuat dalam penerapan hukumnya. Terutama teori hukum pidana (doktrin) yang menjadi sumber hukum formil kita. Keadaan tersebut tentunya merupakan celah untuk melakukan penyimpangan dalam menjalankan fungsinya. Banyak penyimpangan hukum tersebut terjadi pada kasus korupsi yang erat kaitanya dengan perintah jabatan dimana administrasi/birokrasi yang dijadikan sebagai alasan.
Para pakar hukum kita memang menilai bahwa Hukum positif yang berlaku di Negara kita menganut system civil law dimana salah satu cirinya adalah hakim sebagai corong undang-undang. Tetapi dalam Undang-undang pokok kekuasaan kehakiman No. 4 tahun 2004 menegaskan bahwa Hakim wajib menggali dan memahami nilai-nilai hukum yang terkandung dimasyarakat sebagai acuan untuk menangni perkara yang terjadi agar rasa keadilan tercipta. Oleh karenannya seorang hakim dituntut selain menilai alat bukti yang ada, keyakinannya dalam memutus perkarapun harus didasari oleh fakta yang di sinergikan dengan teori hukum yang berlaku. Karena teori hukum merupakan kristalisasi dari sebuah kenyataan yang pernah terjadi di masyarakat, tidak serta merta berasumsi yang bersifat subjektif. Tetapi asumsinyapun dalam memutus perkara memang berdalil. Maka oleh karenannya hakim pengadilan menurut hemat penulis wajib mencantumkan teori hukum dalam memutus perkara yang ditanganinya disamping sebagai tanggungjawab keilmuan untuk mempertegas penerapan hukum yang di lakukannya.

TERORI HUKUM PERINTAH JABATAN (AMBTLIJK BEVEL)
Berikut ini untuk mengetahui tentang apa itu sebenarnya hukum pidana memandang tentang Perintah jabatan. Secara harfiah yang dimaksud dengan perintah jabatan (ambtlijk bevel) adalah “suatu perintah yang telah diberikan oleh seorang atasan, dimana kewenangan untuk memerintah semacam itu bersumber pada suatu “ambtelijke positie” atau suatu kedudukan menurut jabatan, baik dari seorang yang memberikan perintah maupun dari orang yang menerima perintah” (Lamintang,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,PT Citra Aditya Bakti,Bandung,1997:hal.525). Prof. Simon menyatakan bahwa perintah jabatan adalah “sebuah perintah yang tidak perlu bahwa perintah itu harus diberikan kepada seorang bawahan saja, melainkan ia juga dapat diberikan kepada orang-orang lain, dan selama perintah seperti itu telah diberikan berdasarkan undang-undang, maka hal dapat dihukumnya perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan perintah tersebut menjadi ditiadakan.
KUHP mengatur tentang perintah jabatan (ambtlijk bevel) yakni dalam Pasal 51 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menerangkan bahwa: “Tidak boleh di hukum barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan suatu perintah jabatan yang sah, yang diberikan oleh pembesar (penguasa) yang berhak untuk itu”. Dalam pasal tersebut terdapat unsur “perintah jabatan yang sah”, menurut Satochid Kartanegara yang mengutarakan bahwa Yang dikategorikan sebagai suatu perintah jabatan (ambtlijk bevel) yang sah adalah: “Pelaksanaan pemerintah itu harus seimbang, patut, dan tidak boleh melampoi batas-batas kepatutan pemerintah. beliau memberikan contoh sebagai berikut: “Polisi diperintahkan oleh atasannya untuk menangkap seorang yang telah melakukan kejahatan. dalam melaksanakan perintah, cukuplah apabila menangkap dan membawanya, dan tidak diperkenankan untuk memukulnya dan sebagainnya”.
Banyak pendapat yang mengutarakan tentang persoalan “perintah jabatan yang sah”. Stochid Kartanegara, yang menyatakan bahwa hal tersebut harus ditinjau dari undang-undang. Pengertian undang-undang di sini adalah dalam arti luas. Yang selanjutnya di atas telah ditegaskan juga oleh Simon mengenai perintah jabata (ambtlijk bevel), dimana agar sifat dapat di hukum dapat dihilangkan perintah jabatan harus ada dasar yuridisnya (undang-undang).
Saat ini menjadi suatu yang wajar jika setiap pegawai mengetahui bahkan wajib memahami tugas dan kewajibannya. Organisasi telah di susun, kewenangan telah di atur, dan struktur organisasi telah di buat. Jika pegawai atau bawahan ragu-ragu, sebaiknya berpegangan pada semboyan: “Perintah dilaksanakan, aba-aba yang keliru atau salah di diamkan” (Leaden, Marpaung: 2005). Artinya apabila atasan mengeluarkan kebijakan berupa perintah jabatan kepada bawahannya, apabila perintah tersebut dinilai keliru atau salah dan bertentangan dengan perturan yang berlaku sehingga berpotensi menghasilkan hal yang buruk apabila dikerjakan, baik bagi pelaksana kebijakan ataupun bagi objek kebijakan tersebut. Maka seorang bawahan berhak untuk tidak melaksanakannya (menolak).
J.M van Bemmelen berpendapat, antara lain: “Baik terhadap perintah jabatan maupun terhadap peraturan perundang-undangan itu, seorang bawahan itu harus bersikap kritis, sikap kritis tersebut harus lebih banyak ia tujukan kepada perintah jabatan dari pada kepada peraturan perundang-undangan”. Sikap kritis dari seorang bawahan atas kebijakan yang keluar oleh atasannya dapat dilakukan apabila keputusan yang dikeluarkan terindikasi menyimpang dari mekanisme yang berlaku, dan berakibat buruk pada pelaksanaannya, seorang bawahan tidak dilarang untuk mengeluarkan sikap tersebut karena dilindungi oleh hukum.
Hazewingkel-Suringa, berpendapat tentang perintah jabatan (ambtlijk bevel) menyatakan bahwa bahwa: “Ketaatan yang membabibuta itu tidak meniadakan dapat di persalahkannya suatu kesalahan”. Jadi merujuk pada beberapa teori perintah jabatan di atas, selain perintah jabatan (ambtlijk bevel) itu harus memiliki payung hukum atau berdasarkan undang-undang dalam pelaksanaannya, seorang bawahanpun harus bersikap kritis terhadap perintah tersebut. Apakah sudah sesuai dengan tupoksinya, apakah layak jika di kerjakan dan tidak menimbulkan kerugian bagi sipapun. Karena apabila hal tersebut tidak diindahkan oleh bawahan yang menerima perintah jabatan (ambtlijk bevel), apabila terdapat persoalan hukum terutama pidana, tidak akan menghilangkan pertanggungjawaban pidana karena tidak sesuai dengan apa yang yang dimaksud dari pasal 51 ayat (1) KUHP.

PENUTUP
Prof. Muladi mernyatakan bahwa dimensi hukum pidan adalah hukum perdata dan hukum pemerintahan. Artinya persoalan yang menyangkut pemerintahan berupa birokrasi atau administrasi jika mengalami kesalahan dalam pelaksanaannya (sengaja atau tidak) dapat berujung pada sebuah persoalan pidana apabila tidak didasari oleh mekanisme yang berlaku dalam pelaksanaannya. Dan dalam konteks inipun seorang hakim dituntut untuk jeli dalam mengani kasus korupsi yang sangat menyengsarakan rakyat. Karena korelasi korupsi dengan perintah jabatan (ambtlijk bevel) yang bersumber dari birokrasi/administrasi sangat erat sekali. Oleh karena itu agar tidak terjadi stigma masarakat yang negatif pada seorang hakim, maka hakim wajib mencantumkan teori hukum pidananya dalam memutus perkara agar penerapan hukumnya ligitimed.

Tidak ada komentar: